Kamis, September 12, 2024
spot_img
BerandaGAYA HIDUPKreatifitas Anak Transmigran di Perbatasan Lampung dan Palembang

Kreatifitas Anak Transmigran di Perbatasan Lampung dan Palembang

Lampung, – Di usianya yang masih belia Rifki, Moses dan Azka terus berkreasi demi menyenangkan hatinya. Tinggal di sektor 7 pusat transmigrasi di perbatasan Lampung dengan Palembang, Sumsel tidak membiki kreatifitasnya memudar.

Kreatifitas Anak-anak di Sektor 7 Kampung Trans Baru Kayu Agung, Palembang, Sumsel.(GRTT/Nug)

Saat membuat layang-layang waww dengan ukuran dua kali lipat badan mereka, terlihat raut wajah bahagia memancar dari ketiganya. Ditemui di tempat istirahat jalan tol kilo meter 270, Kayu Agung, Palembang, Sumsel mereka tak segan bercerita kesehariannya.

Uniknya, mereka menyatukan baambu dengan lem yang dibuatnya sendiri. Kertas yang disatukan untuk badan layang-layang mereka menggunakan anti nyamuk yang dibawa dari rumah untuk direkatkan ke rangka layangan tersebut.

Azka yang paling aktif dari ketiganya mengatakan, mereka biasa merakit layang-layang untuk diterbangkan bersama. Warga Kampung Trans Baru, Kayu Angung ini biasa bermain di lokasi area istirahat jalan tol tersebut untuk menghibur dirinya.

“Kami belajar membuat layang-layang dari abang dan bapak yang mengajarkan. Dari pada membeli, kami biasa membuatnya sendiri dengan teman-teman,” katanya, sembari menutup reseleting celananya yang terbuka, Sabtu (9/12/23).

Pada mulanya, Azka cerita, membuat layang-layang dengan ukuran besar wajib memilih bambu yang tua agar tidak mudah patah saat dibentuk sesuai ukuran yang diinginkan. Biasanya layang-layang waww memiliki ukuran diameter panjang sekitar 2 meter dan lebar sekitar 1,5 meter.

“Setelah membentuk layangan yang diinginkan, tiba waktu memasang kertas di badan layangan dengan kertas minyak agar mudah dilem suoaya merekat dengan rangka layang-layang. Rasanya bahagia saat berhasil menerbangkan karya sendiri,” ujarnya, sambil melempar senyum kecil.

Moses, rekan Azka juga sama mengungkapkan, mereka sering merakit layang-layang dengan ukuran besar untuk dimainkan bersama. Mereka juga meyakini lebih senang bermain, mainan karya sendiri dari pada bermain telephone seluler atau gedget yang populer dikalangan anak-anak diusianya.

“Enak lagi main layangan bikinan sendiri bersama teman, dari pada main handphone milik orang tua. Kami dimarah kalo terlalu lama bermain games di HP Bapak. Kretifitas kami muncul saat kami menerima keterbatasan yang ada,” ucap Moses, dengan meniup anti nyamuk di tangan kirinya.

Satu dari mereka yang terlihat paling pendiam, Rifki hanya melempar senyum saat kedua temannya diajak bicara. Dia pendiam namun terlihat yang paling kreatif diantara ketiganya. Tak banyak bicara, tetapi dia yang paling banyak bekerja dalam merakit layang-layang itu.

Dengan logat Jawa, ide yang dia lemparkan kepada kedua temannya langsung dikerjakan timnya. Begitulah gambaran krerifitas anak-anak di Kampung Baru Transmigran di daerah tersebut. Dengan keterbatasan tidak menutup ide dan kretifitas mereka untuk menciptakan kebahagian di dunianya sendiri. (Rid)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
spot_img

Most Popular

Recent Comments