Peresean: Tradisi Ksatria Suku Sasak yang Sarat Makna dan Nilai Luhur

Tradisi Ksatria Peresean di Desa Sade Lombok, NTB.(GRTT/Nug)
banner 120x600
banner 468x60
Share

Lombok, [GT] — Di tengah arus modernisasi yang kian deras, masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, tetap menjaga kelestarian warisan budaya mereka yang unik dan penuh filosofi, yaitu Peresean.

Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan adu ketangkasan, tetapi juga simbol keberanian, kejujuran, dan kehormatan bagi para lelaki Sasak.

banner 325x300

Asal-usul dan Makna Filosofis

Peresean telah ada sejak zaman kerajaan di Lombok. Dahulu, tradisi ini digunakan sebagai sarana melatih para prajurit agar tangguh dan siap berperang. Namun seiring waktu, Peresean bertransformasi menjadi seni bela diri tradisional yang dipertunjukkan dalam berbagai upacara adat, perayaan panen, dan acara budaya.

Masyarakat adat sasak menenun kain khas Sade.(GRTT/Nug)

Dalam bahasa Sasak, “Peresean” berasal dari kata rese, yang berarti rotan.

Dua lelaki dewasa disebut pepadu saling berhadapan di arena, masing-masing memegang penjalin (rotan sebagai senjata) dan ende (tameng dari kulit sapi atau kerbau) sebagai pelindung. Mereka bertarung bukan untuk menjatuhkan lawan, melainkan menunjukkan ketangkasan dan semangat sportivitas.

Aturan dan Etika dalam Peresean

Pertarungan dalam Peresean diatur oleh seorang pakembar (wasit) yang memastikan pertandingan berjalan adil dan aman. Setiap pepadu diperbolehkan memukul bagian tubuh lawan menggunakan rotan, namun dilarang menyerang wajah atau bagian vital.

Pertandingan biasanya berlangsung beberapa ronde dan diakhiri bukan dengan kebencian, melainkan saling pelukan dan penghormatan antara kedua pepadu—sebuah simbol bahwa Peresean adalah ajang kehormatan, bukan permusuhan.

Nilai Sosial dan Budaya

Tradisi Peresean sarat dengan nilai-nilai luhur yang masih relevan hingga kini. Keberanian, disiplin, rasa hormat, dan kejujuran menjadi inti dari setiap pertandingan. Selain itu, Peresean juga menjadi sarana mempererat silaturahmi antarwarga desa dan menjaga identitas budaya Sasak dari pengaruh luar.

Pengunjung Desa Sade Lombok berfoto usai berwisata.(GRTT/Nug)

Bagi masyarakat Sasak, setiap tetes darah yang jatuh di arena dianggap sebagai tanda kesucian dan pengorbanan, bukan kekerasan. Inilah yang membedakan Peresean dari pertarungan biasa.

Atraksi Budaya dan Daya Tarik Wisata

Kini, Peresean menjadi salah satu daya tarik wisata budaya Lombok. Wisatawan domestik maupun mancanegara sering menyaksikan pertunjukan ini di desa-desa adat seperti Desa Sade, Ende, dan Rambitan, atau dalam festival budaya seperti Festival Bau Nyale dan Festival Senggigi.

Selain menyajikan ketegangan dan semangat persaingan, pertunjukan Peresean juga menampilkan keindahan busana tradisional dan iringan musik gendang beleq yang menambah suasana heroik.

Pelestarian di Era Modern

Pemerintah daerah bersama komunitas budaya lokal terus berupaya melestarikan tradisi ini melalui festival, pelatihan generasi muda, dan promosi wisata budaya.

Bagi masyarakat Sasak, Peresean bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga cermin karakter dan jati diri bahwa keberanian sejati bukan diukur dari seberapa kuat seseorang memukul, melainkan seberapa besar ia mampu menahan amarah dan menjunjung kehormatan.

Peresean adalah bukti nyata bahwa di tengah kemajuan zaman, kearifan lokal tetap menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bangsa.(*)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *