Bali, [GT] – Aktivitas pariwisata di Bali yang masif membuat kondisi alamnya sangat memprihatinkan. Konsep sustainability atau keberlanjutan bahkan tak bisa memperbaiki rusaknya destinasi andalan pariwisata di Indonesia tersebut.
Guru Besar Universitas Udayana Bali, I Nyoman Sunarta mengatakan, setidaknya hal ini telah terungkap dalam penelitian tahun 1994 yang dilakukan oleh Bali Sustainability Development Project. Kemudian dari penelitian yang ia lakukan pada 2009 ditemukan bahwa hanya Bangli saja yang memiliki surplus air.
Ia pun pernah meneliti bahwa di Timur Laut Bali yang jarang turis dan ditemukan juga aktivitas gas karbon yang tinggi. Perkembangan panas di Kota Denpasar Bali juga sekarang meningkat menjadi rata-rata 34 derajat. “Kalau sudah begitu seharusnya dibangun danau kota,” cetus Nyoman.
Sampah di Bali yang semakin menjadi masalah juga perlu dicermati bahwa dampak pariwisata sangat nyata bagi kerusakan alam Pulau Dewata. Sekarang ini sampah di kawasan Sarbagita menurutnya sudah menumpuk menjadi gunung.
Menurut Nyoman, overtourism yang melanda dunia juga menjangkiti Bali. “Overtourism itu gampangnya cuma satu, dia melampaui daya dukung berarti overtourism,” terang Nyoman, ditemui usai Seminar Indonesia Tourism Outlook 2025 pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Hal ini terlihat dari tiga indikator utama seperti ketidaknyamanan yang dialami turis karena tidak bisa terpenuhi ekspektasinya saat datang ke sebuah destinasi. Lalu orang lokal setempat yang menjadi tidak senang dan lingkungan yang rusak.
Nyoman menilai bahwa perbaikan kondisi alam di Bali lebih cocok dengan konsep regeneratif dibandingkan sustainability. Regeneratif artinya pendatang atau turis yang ke Bali harus memberi dampak pada Sumber Daya Alam (SDA) Bali. Wisatawan yang datang tak selalu karena punya uang, tapi berkontribusi memperbaiki Bali dalam bentuk apapun, misalnya menanam mangrove.
Nyoman menyebut, bahwa pemerintah harus berani melakukan pembatasan di Bali. Kenyataannya, saat ini pembangunan hotel terus mendapat izin dari pemerintah setempat karena alasan bisnis maupun keuntungan.
“Masalahnya sekarang industriawan masih butuh uang, policy maker kita apalagi. Mau bangun hotel pasti dikasih,” ungkap Nyoman.
Padahal menurutnya Bali sudah kelebihan kamar hotel. Sementara jika daya dukung sebuah kawasan sudah terlampaui maka tempat tersebut akan “mati”.
Krisis air, sampah, polusi udara, hingga suhu di Bali yang semakin panas merupakan tanda bahwa Bali tidak baik-baik saja. “Wisatawan asing kini tidak lagi ke Kuta dan Sanur, mereka lari ke Canggu,” kata Nyoman lagi, mengindikasikan bahwa kawasan tersebut sudah tidak nyaman untuk turis.
Konsep sustainability tourism yang sedang digaungkan pemerintah nyatanya tak lagi relevan dengan Bali. Beda halnya dengan Banyuwangi yang baru belakangan merasakan eurofia kedatangan wisatawan. Begitu juga wilayah di Indonesia lainnya yang mulai menjadi Bali baru, pemerintah harus waspada akan kerusakan yang mungkin akan terjadi seperti Bali.(Lip)
Sumber : liputan6.com